Minggu, 01 September 2019

Cerpen 3

PERGI KEMUDIAN HILANG

Kata rindu telah menjadi candu. Suara merdu begitu syahdu. Berilah izin untuk bertemu. Walau badai akan berlalu. Tak perlu merasa ragu. Karena bagiku, hanya hatimu. 

Sebuah kutipan yang begitu singkat namun menyiratkan banyak makna. Bagaikan kisah cinta yang terasa manis di awal namun berujung pahit. Begitulah suatu kehidupan terjadi. Skenario tuhan selalu menyimpan banyak misteri. Tak ada satu orangpun mengetahui setiap alur yang sudah direncanakan. Bahkan, tokoh-tokoh yang berperan untuk melindungi juga dirahasiakan. Oleh karenanya, beruntunglah mereka yang memiliki kehidupan sesuai harapan. Sementara yang tidak? Tak perlu merasa khawatir. Cobalah membaca suatu pepatah yang berisi 'jangan meratapi apa yang tidak kau punya, tapi syukuri apa yang telah kau punya.'

Mari kita mulai kisahnya. Seorang wanita yang kini tengah duduk di bangku SMA. Memiliki keluarga harmonis, teman baik hati, dan seorang kekasih setia. Lengkap sudah kebahagiaan yang dimiliki oleh wanita dengan nama lengkap Lestari Yunita. Tak hanya itu saja, otak jenius dan paras cantik menambah rasa iri orang-orang di sekitarnya. 

Tari, itulah sebutannya. Telah menjalin hubungan selama 2 tahun bersama dengan Chiko Pratama. Keduanya selalu terlihat romance. Semua itu berkat keahlian Chiko dalam hal cinta. Namun, bukan itu yang membuat Tari bertahan dengannya sampai detik ini. Ada banyak alasan yang tak bisa Tari ungkapkan. Jika memang harus, mungkin Tari perlu berlembar-lembar kertas untuk menceritakannya.

"Tari, jangan lupa hari esok." Ucap Chiko dari seberang sana.
"Iya Chiko, tenang saja. Aku tidak akan lupa kok."
"Baiklah, besok kutunggu di depan cafe Louis."
"Oke."

Sabtu, hari yang dijuluki akhir pekan. Cuacanya belum terlihat cerah. Matahari masih bersembunyi dibalik awan. Sepertinya belum siap menyinari bumi, atau mungkin malu dengan pancaran aura dari wajah Tari. Blouse tiga perempat bermotif bunga sakura, ditambah celana jeans panjang menjadi dresscode pilihan Tari hari ini. Kakinya dibalut dengan flatshoes senada dengan warna blouse. Rambut panjangnya dikuncir menyerupai ekor kuda. Arloji yang melingkar di tangan kiri juga slingbag cokelat membuat Tari terlihat bak model yang siap untuk melakukan catwalk. 

"Kau ingin menonton film apa?" Tanya Chiko sambil melihat list film di bioskop cinemax.
"Karena aku sedang bahagia hari ini, bagaimana kalau kita menonton film nuansa sedih? Menurutku, itu cocok untuk kita tonton hari ini." Tari menunjuk salah satu film yang berjudul 'Antara Kau dan Dia'.
"Kau ini ada-ada saja. Baiklah kalau begitu."

Film dengan genre sad romance yang diperankan oleh Rita Sinaga dan Manuel Anggara cukup memikat banyak penonton. Dengan durasi 1 jam 35 menit, mampu membuat penonton terhanyut dalam alur cerita. Tetesan air mata menghiasi wajah para penonton di akhir cerita. Lampu penerangan bioskop hidup kembali ketika film telah usai.

"Tadaaa." Chiko memberikan sekuntum mawar merah tepat di hadapan Tari.
"Terimakasih Chiko, kau memang kekasihku yang paling terbaik."
"Sama-sama, terimakasih juga masih bersamaku sampai detik ini."

Bumi terus berotasi dan berevolusi. Kelak, mereka yang berbahagia akan merasakan kesedihan. Tak selamanya keinginan terwujud. Apalagi berjalan mulus. Begitu pula yang dialami oleh Tari di musim hujan bulan ini. Keluarga harmonis yang menjadi kebahagiaan utamanya, perlahan retak kemudian hancur. Tak ada canda maupun tawa, hanya tangis yang menambah kesunyian hari. Air mata mengalir bersamaan dengan derasnya hujan kala itu. Seperti memahami apa yang dirasakan oleh Tari. 

Kehidupan Tari mulai tak lengkap. Status sebagai anak broken home telah melekat dalam dirinya. Untunglah masih ada teman-teman dan Chiko yang bersedia untuk menghibur bahkan menyemangati. Perlahan, Tari kembali mengulum senyuman.

Tak terasa, Ujian Nasional sudah di depan mata. Persiapan matang haruslah dilakukan. Setiap waktu yang dilewati jangan sampai berakhir tak berharga. Buku pemecah UN, latihan-latihan soal, dan buku pendamping lainnya mendadak menjadi santapan sehari-hari. Bermain bukan lagi prioritas. Kumpulan rumus disertai teori beralih menjadi pengganti. Tak pernah terbayangkan, tiga hari perjuangan mampu membuat tiga bulan pengorbanan. Tari bisa bernafas lega setelah melewati masa-masa tersulit itu.

Entah kenapa, semenjak Tari menyibukkan diri demi masa depannya, Chiko tidak hadir menjadi penyemangat. Hubungan kami seperti di ambang pintu. Terakhir kali Tari bertemu dengannya sekitar satu bulan sebelum UN dilaksanakan. Rasa kecewa mulai menyelimuti. Beruntungnya, Tari masih bisa menutupi kesedihannya.

20 Mei 2019. Itulah hari bersejarah bagi Tari. Usaha selama tiga tahun berujung manis. Gedung Graha Bintang menjadi saksi sejarah pelepasan siswa/i SMAN 1 Gerhana. Tari memang bahagia, namun tak sepenuhnya. Chiko tak hadir di acara graduation. Tari tak tahu keberadaanya dimana. Pesan yang selalu Tari kirim, tak pernah dibalas. Telepon yang tersambung, tak pernah dijawab. Dari sanalah kepercayaan Tari mulai memudar. Firasat yang selama ini berkumpul dalam pikiran, menjadi sebuah kenyataan. 

Begitulah akhir sebuah kisah. Jika bukan tentang kebahagiaan, pasti tentang kepedihan. Semua yang dimiliki Tari perlahan pergi. Begitu jauh, sampai Tari tak sanggup untuk mencapainya. Orang-orang yang paling dicintai, kini sudah menghilang. Seperti ditelan oleh bumi. Melayang ke angkasa. Tenggelam di luasnya samudera. Padahal, baru saja kemarin Tari menjadi wanita yang paling bahagia. Dalam sekejap, bagaikan kedipan mata segalanya berubah. Tari tak menyesali terlahir dari keluarga normal walaupun hanya sementara. Atau menjadi kekasih seorang Chiko Pratama. Tari menerima dengan lapang dada. Karena bagaimanapun, tak pantas jika ia terus merasakan kebahagiaan. Terkadang, dunia harus mengatakan kepadanya agar ia mengerti arti keseimbangan. Setiap suka, harus diiringi dengan duka. Itulah teori yang mendukung asumsi.